Jakarta (ANTARA
News) - "Silahkan masuk Pak, maaf beginilah keadaan rumah saya," kata
Muhammad Nur saat mempersilahkan ANTARA yang bertandang ke kediamannya,
satu rumah petak di gang sempit di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur,
Selasa.
Di rumah kontrakan itulah, Muhammad Nur (39 tahun), mantan juara SEA
Games 1995 Chiang Mai dan SEA Games 1997 Jakarta hidup berdesakan
bersama istrinya Widi Hastuti (37) serta ketiga anaknya M. Ferdinand
(12), Anastasia (8) dan Nayla Nursabila (6).
Hampir tidak terlihat lagi bekas bahwa pria kelahiran Jayapura itu
pernah berjaya saat mengharumkan negara ketika menjuarai nomor tim
pursuit putra di Chiang Mai pada SEA Games 1995 dan kemudian
mempertahankannya di Jakarta dua tahun kemudian.
Tidak ada perabotan sama sekali di kontrakan yang luasnya tidak
lebih dari 16 meter persegi itu. Tamu yang datang terpaksa duduk di
lantai di ruang depan yang juga sekaligus menjadi kamar tidur
anak-anaknya.
Didampingi istrinya, Muhammad Nur kemudian menceritakan bahwa sejak
2003, ia bekerja sebagai buruh panggul di sebuah pasar daging di kawasan
Pulo Gadung untuk menghidupi keluarganya.
Bekal ijazah SMA membuatnya tidak punya pilihan lain kecuali
melakukan pekerjaan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik karena sudah
sering mengajukan lamaran pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun
swasta, tapi tidak ada tanggapan.
"Tugas utama saya adalah menjaga gudang, tapi juga sekaligus menjadi
kuli angkut saat memasukkan atau mengeluarkan barang," kata Muhammad
Nur yang mengaku ikhlas menjalankan pekerjaannya.
Gaji sebesar Rp2 juta perbulan jelas tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang berjumlah lima orang, apalagi ia harus mencicil
untuk sewa rumah sebesar Rp3,8 juta pertahun.
"Di luar pekerjaan utama saya di gudang, saya kemudian mencoba
mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek. Apa pun saya kerjakan
untuk mendapatkan tambahan penghasilan, asalkan halal," katanya.
Sebenarnya Muhamamad Nur pernah dipercaya sebagai pelatih, yaitu
saat menangani tim DI Yogya ketika menghadapi PON 2000 di Jawa Timur.
Tapi ia kemudian tidak menekuni profesi tersebut lebih jauh karena
tidak yakin bahwa profesi tersebut benar-benar akan memberikan jaminan
masa depan karena tidak ada penghasilan tetap.
"Kalau menjadi pelatih, saya hanya akan mendapatkan penghasilan
kalau ada event saja. Bagi saya, tidak masalah berpenghasilan kecil asal
tetap setiap bulan," katanya.
Muhamamad sebenarnya menekuni profesi sebagai atlet balap sepeda
dalam waktu yang cukup singkat, yaitu antara 1993 sampai 1997 dan
memutuskan pensiun saat masih berusia 25 tahun, usia emas seorang atlet.
Ia mengakui bahwa keputusannya untuk meninggalkan dunia balap sepeda
lebih banyak akibat kekecewaan karena tidak adanya transparansi dalam
masalah keuangan dalam tim.
"Saya tahu bahwa saya seharusnya mendapatkan gaji dan honor yang
lebih besar, tapi tidak ada keterbukaan dalam masalah itu. Ketika saya
tanya ke pelatih, saya malah dimarahi. Sejak itulah saya memutuskan
mengundurkan diri saja," katanya.
Sejak itu, Muhammad Nur pun mulai merasakan dan meyakini bahwa
menjadi seorang atlet, meski pun berprestasi sampai tingkat SEA Games,
ternyata tidak akan menjamin masa depannya.
"Saya merasa usaha keras saya hanya akan sia-sia dan dalam
kenyataannya saya tidak mendapatkan apa-apa. Lebih baik saya mundur saja
mencari pekerjaan lain meski akhirnya saya harus menjadi kuli kasar
seperti ini," kata Muhammad Nur sambil memperlihatkan piagam-piagam yang
pernah diterimanya saat menjadi atlet berprestasi.
Sambil bercanda, Muhammad Nur mengatakan bahwa ia sebenarnya terlalu
cepat dilahirkan karena jika ia menjadi atlet sekarang ini, ia yakin
akan lebih sejahtera berkat bonus besar dari pemerintah.
"Atlet sekarang lebih enak karena setiap peraih emas di SEA Games
2011 lalu dapat sebesar Rp200 juta, meski cabang beregu," katanya.
Ia juga menilai bahwa perhatian pemerintah terhadap atlet berprestasi sekarang jauh lebih baik.
Muhammad Nur sebenarnya hanyalah salah satu dari sebagian mantan atlet berprestasi yang tidak beruntung.
Nasib pria bertubuh gempal itu tidak jauh berbeda dengan seniornya
Suharto (59 tahun) asal Surabaya, juara SEA Games 1979 di Malaysia untuk
nomor "team time trial" yang sekarang menyambung hidup sebagai tukang
becak.
Namun Suharto sedikit lebih beruntung karena beberapa waktu lalu
mendapat bantuan rumah dari Kantor Pemuda dan Olahraga yang secara
simbolis diserahkan Wakil Presiden Boediono saat peringatan Hari
Olahraga Nasional pada 9 September lalu di Jakarta.
Muhammad Nur pun berharap akan mendapat penghargaan yang sama dari
Kemenpora agar bisa tinggal di tempat yang lebih layak, sebagaimana
pahlawan olahraga lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar